MODEL
PENELITIAN DIFUSI INFORMASI
(Disadur dari:
Rakhmat, Jalaluddin. 1984. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya)
Konseptualisasi. “Penelitian difusi adalah satu jenis penelitian komunikas
yang khas, tetapi penelitian ini dimulai di luar bidang komunikasi,” begitu
ujar Rogers (1978:207) ketika ia membicarakan keadaan penelitian difusi dewasa
ini. Memang, penelitian difusi informasi berasal dari sosiologi. Rogers, tokoh
difusi yang kemudian menjadi peneliti komunikasi, membuat desertasinya dalam
sosiologi pedesaan. Tidak mengherankan bila terjadi aneka ragam tradisi
penelitian difusi dengan fokus penelitian yang berlainan juga. Difusi itu
sendiri telah didefinisikan bermacam-macam (Lihat Naroll, 1964; Katz, 1965:28;
Rogers dan Shoemaker, 1979:18-38; Graber, 1976:44-45).
Tetapi
ada satu asumsi yang mengikat semua penelitian difusi. Difusi adalah suatu
proses komunikasi yang menetapkan titik-titik tertentu dalam penyebaran
informasi melalui ruang dan waktu dari satu agen ke agen yang lain. Menurut
Savage (1981:103)
“We may define diffusion as the adoption of communicable
element symbolic or artifactual, over time by decision-making entities linked
to some originating source by channels of communication within some
sociocultural systems.”
Salah
satu saluran komunikasi yang penting adalah media massa. Karena itu, model
difusi mengasumsikan bahwa media massa mempunyai efek yang berbeda-beda pada
titik-titik yang berlainan, mulai dari menimbulkan tahu sampai mempengaruhi
adopsi atau rejeksi (penerimaan atau penolakkan).
Operasionalisasi. Sesuai dengan model terdahulu, model difusi dapat
dinyatakan seperti pada gambar berikut
Dengan menggunakan model ini,
peneliti meneliti bagaimana inovasi atau informasi baru tersebar pada unit-unit
adopsi (penerima inovasi). Inovasi berupa berita, peristiwa, pesan-pesan
politik, gagasan baru dan sebagainya. Sejauh mana media atau saluran
interpersonal mempengaruhi efek difusi ditentukan oleh variabel antara, yang
dalam model ini disebut antaseden. Variabel penerima yang antara lain meliputi
data demografis dan variabel sosiopsikologis sudah dibicarakan pada model
terdahulu.
Dimensi
inovasi menunjukkan faedah relatif, kontabilitas, kompleksitas dan lain-lain.
Faedah relatif menunjukkan tingkat kelebihan inovasi dibandingkan dengan
gagasan lain yang mendahuluinya. Kontabilitas (compability) adalah tingkat
kesesuaian inovasi dengan nilai-nilai yang ada. Kompleksitas berarti tingkat
kesukaran untuk memahami atau menggunakan inovasi. Dimensi-dimensi yang lain dibicarakan
Rogers dan Shoemaker (1971), dan secara terinci oleh Lin dan Zaltman
(1978:93-115).
Variabel
media sudah dijelaskan pada model sebelumnya. Variabel efek diskusi dapat
berupa temporal, spasial, struktural, dan fasal. Istilah temporal menunjukkan
pola adopsi gagasan-gagasan baru dalam jangka waktu. Ini biasanya digambarkan
dengan kurva S: dimulai dengan jumlah kecil adopter, sejumlah besar adopter
ditengah-tengah, dan sejumlah kecil lagi di belakang. Istilah spasial
menunjukkan keteraturan tertentu dalam pola spasial distribusi inovasi.
Misalnya, inovasi itu mula-mula dikenal di pusat, kemudian ke daerah-daerah
yang berdekatan, selanjutnya ke daerah-daerah yang jauh. Istilah struktur
menunjukkan penyebaran informasi melalui struktur-struktur komunikasi: bisa
jadi dua tahap (two-step) atau banyak tahap (multi-step). Istilah terakhir
fasal menhacu pada fase-fase dalam proses adopsi; yang terkenal ada lima fase:
pengenalan, informasi, evaluasi, percobaan, dan keputusan (Bohlen, 1977).
Observasi. Laporan agak lengkap tentang studi difusi inovasi yang
pernah dilakukan dapat dilihat pada Rogers dan Shoemaker (1971). Di sini hanya
dikemukakan dua contoh saja: the Hybird Seed Corn dan the Saucio
Study.
The
Hybird Seed Corn adalah penelitian difusi yang
paling pertama dan paling terkenal. Penelitian ini dilakukan Ryn dan Gross
utnuk mengetahui difusi jenis jagung yang baru (dikenal sebagai hybird seed
corn) pada dua masyarakat lowa tahun 1941. Dari 259 reponden diketahui hanya
dua orang saja yang belum menanam hybird seed corn pada saat penelitian
berlangsung. Ditemukan juga kenyataan bahwa responden mulai menanam jenis
jagung ini setelah mendengar tentang itu lima tahun sebelumnya. Di antara
penemuan-penemuan yang lain dari studi ini ialah (1) adopter awal lebih lama
memerlukan waktu untuk mengambil keputusan dari adopter akhir; (2) media massa
dan sumber-sumber interpersonal efektif dalam menyampaikan informasi tetapi
sumber-sumber interpersonal yang dekat amat efektif dalam mengubah tingkah
laku; (3) kurva adopsi menyimpang dari distribusi normal.
The
Saucio Stduy adalah penelitian yang pertama kali
menerapkan metode penelitian difusi Amerika pada negara berkembang. Deutschman
dan Fals Borda melakukan penelitian adopsi enam macam cara bertani di Saucio,
sebuah desa di Columbia. Dari 79 petani lokal, 71 orang diwawancara untuk
mengetahui sejarah adopsi keenam cara bertani yang ditanyakan. Indeks perilaku
inovatif dibuat dengan menggunakan analisis Guttman. Diantara penemuan
penelitian ini ialaha: (1) sumber-sumber interpersonal adalah yang paling
efektif untuk menyebarkan informasi dan pengaruh – hanya 17% menyebutkan media
massa sebagai sumber informasi; (2) sejumlah besar petani memutuskan melakukan
adopsi (penerimaan cara bertani) segera setelah mendengarnya; (3) sikap
inovatif petani seperti diukur dengan skala inovasi, berkorelasi tinggi dengan
kepemimpinan adopsi, ukuran tanah pertanian, pendidikan, kedinian pengenalan,
terpaan media massa, dan sikap kosmopolit; (4) adopter awal lebih cenderung
menggunakan semua media massa (radio, surat kabar, buku) daripada adopter
terakhir.
Penelitian
yang menggunakan model difusi informasi pada umumnya merupakan studi
korelasional karena mengambil sampel dari masyarakat. Studi ini pernah
merupakan “paradigma” yang paling populer baik kalangan ilmu komunikasi maupun
ilmu-ilmu sosial lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar